Dicono Che

Firenzigo kesal.

Dia kini duduk di ruang tamu rumahnya. Menyambut tamu yang dia tunggu sekaligus dia tujukan rasa sebalnya sekarang. Mereka berdua duduk bersampingan tapi Firenzigo memalingkan wajah ke arah lain.

Tak mau memandang lawan bicaranya sekarang.

Kesal.

Hanya itu yang bisa dipikirkannya.

Henriette terdiam.

Ia duduk diruang tamu bersama. Keheningan menyelimuti ruangan itu, memberikan sensasi merinding dan tak enak.

Henriette tak tau harus bicara apa, sesekali ia melirik Firenzigo yang ada disebelahnya. Menatap binggung sekaligus bersalah.

"Sebenarnya..." Henriette menghela nafas "Kamu kenapa? Dari tadi aku tanya tak pernah mau menjawab... Ada apa sebenarnya?" tanya Henriette lembut

Henriette bertanya lembut. Firenzigo mengacuhkannya.

Seandainya Henriette tidak tahu apa yang membuatnya kesal, Firenzigo tentu tidak seperti ini. Tapi, Henriette sudah tahu. Tadi, Firenzigo telah menanyakan apakah Henriette tidak tahu sama sekali atau tidak? Ternyata Henriette tahu dan dia masih tidak mengatakan apa-apa tentang itu.

Firenzigo makin kesal.

Dia semakin mengacuhkan tatapan bersalah Henriette. Bukan itu yang diiinginkannya dari Henriette. Ada hal lain. Firenzigo yakin Henriette tahu. Maka dia tak mau berkata-kata sampai Henriette mengatakan hal yang diinginkanya itu.

Semakin menunggu.

Firenzigo makin tidak sabar.

"Aduuuuh, nih pake ngasih pesenan segala." umpat Silvana.

Kakaknya menitipkan sebuah bingkisan untuk Figo. Gadis itu sampai di rumah Figo yang besar. Segera ia mengetuk pintunya.

Tok Tok Tok

"Kak Figo... Aku mengantarkan sesuatu..." sahut Silvana dari luar.

Tetap tak ada jawaban.

Henriette menghela nafas, butuh kesabaran ekstra untuk membuat pemuda Italy itu mengatakan apa salahnya.

Keheningan membuatnya semangkin tak enak, rasa bersalah terus datang dan membuatnya tak nyaman. "Firenzigo aku mohon beri tahu aku..."

Sedetik kemudian pintu rumah itu diketuk membuat Henriette menelan kembali kata-kata berikutnya.

"Kak Figo... Aku mengantarkan sesuatu..." terdengar suara Silvana, membuat Henriette harus menghela nafas lagi

Suara helaan nafas terdengar. Masih diacuhkannya.

Hening.

Henriette-lah duluan yang memecahkan keheningan itu, masih dengan sebuah permohonan minta diberi tahu. Kali ini kedua alis Firenzigo bertemu. Dia cukup marah sekarang.

Masa' dia tidak tahu apa yang ingin aku dengar?

Dia membuka mulut, tapi langsung ditutupnya lagi. Firenzigo teguh dengan niatnya yang tidak mau memberitahu karena Henriette sebenarnya sudah tahu. Ia yakin itu.

Ketukan pintu terdengar. Tak lama, suara seseorang berkata kalau ia mengantarkan sesuatu.

Firenzigo membuka pintu dengan muka masam. Menyambut Silvana, "Terima kasih Sil."

Tanpa senyuman.

"Terima kasih Sil." Suara tanpa nada, begitu rendah dan masam.

Sekali lagi Henriette menghela nafas, menatap punggung Italy dari sofa berwarna putih gading. Matanya terus menatap Firenzigo dengan tatapan binggung.

'Aku binggung harus bilang apa...'

Silvana yang melihat ke anehan pada Firenzigo pun langsung bertanya.
"Kak Figo kenapa? Marah ya? Marah sama siapa?" tanya Silvana tanpa spasi dan koma.

Firenzigo sadar Henriette melihatnya sedari tadi. Tapi, hal itu semakin membuatnya kesal. Dia hanya ingin 1 ucapan dari Henriette.

Hanya itu.

Tapi sampai sekarang masih belum diterimanya.

Dia.

Sungguh.

Kesal!

Suara Silvana menyadarkannya. Dia berusaha tersenyum untuk Silvana, namun tak bisa. Dia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau dia kesal sekarang. Setidaknya, dia harus berkata sesuatu untuk menenangkan Silvana.

"Cuma sama 1 orang kok, Sil."

Firenzigo menjawab jujur.

"B-baiklah kalau begitu... A-aku... aku bingung mau ngapain." kata Silvana yang merasa situasinya tak enak.
Jujur saja sekarang badannya agak gemetar karena melihat ekspresi Figo yang tak pernah ia lihat.

Firenzigo tahu Silvana merasa tak enak. Sementara dia sendiri juga tak bisa menyangkal kalau suasana sedang tidak bagus sekarang. Maka, dia berkata, "Sil, bisa tolong ke dapur sebentar. Aku memanggang kue dan belum kulihat. Bisa tolong awasi?"

Setelah Silvana pergi, Firenzigo duduk kembali.

Tetap diam. Juga tetap tidak mau menatap Henriette.

Dia menunggu Henriette mengatakan hal yang diinginkannya.

Silvana kini berada di dapur rumah Firenzigo. Ia mendekati oven dan melihat apakah kue itu sudah matang atau belum. Dan ternyata belom matang sama sekali! Jadi Silvana harus menunggu.

"Aku... bosan..." gumam Silvana yang duduk di kursi meja makan.

Ia mulai mengeluarkan laptopnya dan mulai bermain laptopnya. Lumayanlah nungguin kue sambil maen laptop.

'Penjualan foto dan video kak Norge dan kak Figo harganya tinggi.' batin Silvana.

"Kak Figo kenapa? Marah ya? Marah sama siapa?"

"Cuma sama 1 orang kok, Sil." Jawab Firenzigo jujur.

'Itu aku...' batin Henriette, dia menatap mereka berdua dari kejauhan berusaha mencari informasi lebih.

Firenzigo menyuruh Silvana untuk pergi kedapur dengan alasan MENGAWASI kue. Henriette tak peduli dengan itu, yang ia pedulikan adalah Firenzigo saat ini.

Firenzigo kembali duduk disampingnya, tapi tetap dengan kepala yang memalingkan wajahnya dari Henriette. Henriette terdiam sesaat berusaha menyusun kalimat dalam otaknya.

Henriette menarik tangan Firenzigo, membawanya kedalam pelukkannya. "Maaf," bisiknya pelan ditelinga Firenzigo.

Tangan Firenzigo tiba-tiba ditarik Henriette. Membuatnya yang tak sempat menghindar, kini jatuh dalam pelukannya. Jantung Firenzigo berdetak cepat. Memang ini bukan pertama kalinya dia dipeluk oleh Henriette, tapi tetap saja Firenzigo masih tak bisa mengontrolnya.

"Maaf."

Henriette membisikannya dengan lembut. Mau tak mau, Firenzigo luluh. Dari awal dia menginginkan kata-kata ini juga sebuah ucapan yang lain. Firenzigo menyandar kan kepalanya dengan manja di pundak Henriette.

Dia menghela nafas.

"Kau masih tidak sadar ya?"

"Kau masih tidak sadar ya?"

DEG

Henriette diam ia tetap memeluk Firenzigo, ia menunduk meletakan kepalanya dibahu Firenzigo. "Maaf... aku tak sadar, memang aku bodoh..." Ucap Henriette lirih, "Tapi tolong maafkan aku, dan beri tau apa kesalahanku"

Kali ini giliran Henriette yang bermanja. Dia meletakkan kepalanya di bahu Firenzigo. Menunjukkan keputusasaannya karena masih tidak tahu apa yang ingin didengar Firenzigo.

"Maaf... aku tak sadar, memang aku bodoh..."

Mendengar itu, Firenzigo luluh sempurna. Dari nadanya, dia tahu Henriette resah. Firenzigo sendiri sudah merasa cukup dengan permintaan maaf dari Henriette. Dia menghela nafas.

"Tapi tolong maafkan aku, dan beri tau apa kesalahanku."

Firenzigo mengangkat kedua tangannya agar bisa memeluk punggung Henriette. Dia mendekapnya lembut. Kemanjaan serta kasih sayangnya terpancar begitu saja. Dia memanjakan dirinya karena sedari tadi dia sudah sangat ingin memeluk Henriette.

"Aku tadi kan bilang aku rindu," Firenzigo berkata dengan nada manja khas miliknya. "Tapi, kau tidak bilang apa-apa. Makanya aku kesal."

Wajahnya merah sekarang.

"Aku tadi kan bilang aku rindu," Firenzigo berkata dengan nada manja khas miliknya. "Tapi, kau tidak bilang apa-apa. Makanya aku kesal."

Henriette terdiam, ia memeluk Firenzigo lebih erat namun tetap berusaha lembut. "Ti Amo... maaf soal tadi" Henriette berkata lembut, "Terima kasih..."

Sebuah senyum terukir dibibirnya

Ting

Suara dari oven akhirnya terdengar. Suara yang dari tadi Silvana tunggu akhirnya terdengar juga. Silvana segera mengangkat kue itu.
'Rupanya kak Figo punya bakat memasak kue...' batinnya.

"Kak Figo! Ini kue nya gimana?" tanya Silvana dari dapur.