Studio Lukis

"Woi katanya bukan sahabat lagi, tapi kok elu ngerangkul gue gini? Ngajak makan segala lagi..." Hongkong jadi bingung.

"Tapi kalo diajak makan sih gue mau, tapi sediain yang banyak ya. Secara gue ini makannya banyak banget, makanya cepet gede ampe ngebalap kakak2 gue (kecuali Korea)," kata Hongkong bikin Norway rada drop.

"iya deh iya," Ucap Henriette. Lalu ia menatap Firenzigo lagi

"Udah kak Hongkong ikut aja,nanti aku gak ada temennya.." sahut Silvana.

"Udah kak Hongkong ikut aja,nanti aku gak ada temennya.." sahut Silvana.

"Ikut ke mana? Kagak ah, tampang lu udah mencurigakan kayak gitu," kata Hongkong.

"Tampang polos gini dibilang mencurigakan! Udah kak Hongkong temenin aku aja maen ke rumah para Nordics..." kata Silvana.

"Wah, maaf sekali Sil. Lukisan ini harus selesai."

Suara khawatir Henriette bertanya mengenai alasan air mata yang jatuh di pipi Firenzigo. Sekuat tenaganya, Firenzigo menahan airmata dan tersenyum ramah. "Tidak, tidak apa-apa," melepaskan dengan pelan tangan Henriette yang tadi di pundaknya. Terlalu menyakitkan baginya sekarang untuk membiarkan dirinya dibuai kebaikan Henriette.

"Kalian bersenang-senang aja. Aku juga akan menikmati kegiatanku melukis," katanya lagi setelah mendengar Xi Fa menerima ajakan Henriette. Remaja Norway itu hanya bisa mengiyakan lalu Firenzigo mengantar mereka sampai ke depan pintu Studio Lukis.

Karena masih ada orang di dalam, Firenzigo berkata pada Nue dan Nesia kalau dia ingin mengerjakan lukisan yang butuh konsentrasi sekarang sehingga terpaksa meminta mereka semua pergi. Termasuk kakeknya.

Setelah semuanya meninggalkan Studio Lukisannya, Firenzigo terduduk bersandar dengan dinding. Dia memeluk lututnya. Menenggelamkan kepalanya di sana. Pundaknya bergetar karena hatinya yang kini sakit. Air matanya mengalir deras tidak terbatas.

Hatinya sakit sekali.

Dan...

Firenzigo menangis sendirian...

Dalam Studio Lukis.

--------
Norway, Andorra, sorry, ceritanya jadi kalian yang ninggalin Studio ya. Yang lain juga sorry, Italia terpaksa minta semuanya keluar karena dia patah hati. Makasih uda mau main ama Italia

Semuanya meninggalkan ruangan studio, satu-persatu mulai keluar dari ruangan itu meninggalkan Firenzigo sendirian.

Fa dan Silvana sudah jalan duluan tapi Henriette masih didepan pintu studio, "Uhm... Fa, SIlvana, kalian duluan masuk saja mobilku duluan" Ucap Henriette, dan mendapatkan anggukan dari yang lain. Dan ia didepan ruang studio sendiri...

'Ada yang aneh'

TOK TOK TOK

"Firenzigo..." Henriette mengetuk pintu ruang studio lembut

Studio itu sepi. Hongkong dateng lagi, niatnya mau ngegantiin cat sama palet yang udah dia makan tadi (==).

"Permisi," ujarnya pelan. Kok sepi banget ya? Jangan-jangan semuanya udah pergi ke Uganda?

Terlihat Firenzigo sendirian di pojok. Bahunya terguncang, suaranya terisak. Nangis lagi ya? Huh, dasar cengeng.

"Senpai?" bisik Hongkong, nggak ngerti kalau kehadirannya itu tidak dibutuhkan. "Jangan nangis lagi ya, nih kukasih permen rasa apel," kata Hongkong sambil menyodorkan sebungkus lolipop.

Silvana yang bingung dengan sikap Figo langsung mengirim sms ke orang itu.
Kak Figo kenapa? Kok menangis? Jangan-jangan aku salah ngomong? QAQ
Maafin aku deh kalo aku salah ngomong. Kalau ada apa-apa cerita saja sama aku,oke?

Silvana langsung mengklik tombol send dan berharap sms-nya dibalas oleh Figo.

Wajah Firenzigo sudah dipenuhi air matanya sendiri. Bahkan dia bisa merasakan bibirnya asin karena itu. Dia sangat terguncang. Harapannya terlalu tinggi. Firenzigo tahu dia bodoh, tapi kali ini dia mengakui dari lubuk hati terdalam kalau memang dia sangat bodoh.

Ketukan pelan di pintu Studio. Suara Henriette terdengar dari balik sana. Dengan cepat Firenzigo membersihkan wajahnya dari air mata dengan celemek yang dipakainya. Lalu ia membuka pintu dan bertanya lembut pada Henriette, "Kenapa? Ada yang tertinggal?"

Tak lama, Xi Fa juga datang. Dia memberikan sebungkus lollipop pada Firenzigo yang tak mengerti, tapi menerima juga. Firenzigo juga menerima pesan di ponselnya dari Silvana. Tapi, diabaikannya.

Dia bertanya lagi pada Henriette, "Ada yang tertinggal, Henriette?"

"Ada yang tertinggal, Henriette?"

Henriette terdiam, ia tampak binggung mau berbicara apa. "Uhm... Fa bisa pergi sebentar aku ada urusan dengan Firenzigo'

Henriette meminta Xi Fa pergi sebentar karena katanya dia ada urusan dengan Firenzigo. Itu membuat Firenzigo bertanya-tanya dalam hati. Barang apa yang tertinggal? Apa itu begitu rahasia sampai Henriette perlu meminta Xi Fa pergi sebentar meninggalkan mereka berdua di depan pintu Studio?

"Masuklah, Henriette," Firenzigo mempersilakannya masuk. "Aku tidak tahu barang mana milikmu yang tertinggal, kau boleh ambil sendiri kok."

Senyuman itu lagi.

Terpaksa.

"Uhm... terima kasih" Henriette masuk kedalam studio itu lagi, "Sebenarnya barang yang tertinggal adalah.." Henriette menghela nafas.

"Sebuah pertanyaan dariku"

Silvana belum dapat balasan dari Firenzigo.
'Apa benar aku salah ucap ya? Aduhhh,jadi takut nih...' batin gadis itu.
'Pergi nemuin kak Figo gak ya?' Ia terus bertanya-tanya.

Daripada pusing ia memilih ke kantin dan makan kebab buatan Turky.
'Enakan makan kebab daripada puyeng~' batinnya.

"Sebenarnya barang yang tertinggal adalah...sebuah pertanyaan dariku."

"Pertanyaan?"

Firenzigo menutup pintu Studio dan kini hanya mereka berdua di dalamnya. Wajah Henriette tampak serius. Firenzigo berpikir keras apa yang ingin ditanyakan Henriette. Dia pun teringat kalau Henriette tadi minta diajarkan melukis.

"Ah, soal melukis?" Firenzigo menepuk jidat. "Bagaimana kalo lain waktu, aku terburu-buru menyelesaikan lukisan yang sekarang kukerjakan."

Dia berbohong. Lagi.

Silvana yang baru selesai makan kebab akhirnya memilih untuk jalan-jalan. Saat melewati studio seni ia mendengar sebuah percakapan.

"Sebenarnya barang yang tertinggal adalah.." Henriette menghela nafas.

"Sebuah pertanyaan dariku"

"Pertanyaan?"

"Ah, soal melukis?" Firenzigo menepuk jidat. "Bagaimana kalo lain waktu, aku terburu-buru menyelesaikan lukisan yang sekarang kukerjakan."


'Pasti kak Norge dan kak figo yang ngomong...' batin Silvana.

"Bukan" ucap Henriette singkat, ia menepuk kepala Firenzigo. "Bukan soal lukisan... Tapi tentang dirimu, kenapa dengan dirimu?"

Sirat wajah Henriette terlihat sangat khawatir, ia menusap kepala Firenzigo lembut

Silvana terus mendengarkan pembicaraan kedua orang itu.
'Mungkinkah kak Norge menyukai kak Figo? Kalau iya,kenapa tidak tembak aja sekalian?! Jangan nanyain lukisan!' batin Silvana.

"Bukan."

Firenzigo kaget tangan Henriette menepuknya. Dia harus berusaha keras menahan tangannya yang terangkat untuk tidak memeluk Henriette. Dan itu berhasil dengan pertanyaan alihan yang dilontarkannya, "Bukan? Jadi yang mana?"

"Bukan soal lukisan..."

"Jadi apa?" Firenzigo masih bersikeras tak mau berharap lagi.

"Tapi tentang dirimu, kenapa dengan dirimu?"

Henriette mengusap kepala Firenzigo lembut. Membuat Firenzigo sangat kaget karena begitu lembut sentuhan itu. Begitu ia menginginkannya. Tapi, seketika itu juga ia teringat kembali ucapan Henriette yang hanya menganggapnya teman, maka Firenzigo memupuskan harapannya sendiri.

Dia memandang Henriette. Tersenyum.

"Aku? Kenapa denganku? Aku tidak apa-apa."

Ah, air matanya jatuh lagi.

TES

Air mata mengalir dari pelupuk mata Firenzigo, Henriette terdiam menatapnya dengan prihatin. "Sudah jangan menangis..." Ucap Henriette, ia mengambil sapu tangan hitam putih favoritenya dan mengapus air mata Firenzigo.

"Menangis tak cocok untukmu..." Henriette tersenyum, berusaha menghibur. "Ceritakanlah, ada apa denganmu..."

Dia tahu air matanya harus dihentikan. Dia tahu tak ada gunanya menangis. Tapi, apa lagi yang bisa dia lakukan menghadapi Henriette yang masih baik padanya? Firenzigo merasa senang sekaligus sakit bersamaan. Melihat Henriette yang tampak khawatir padanya. Merasakan saputangan Henrriette diusapkan untuk menyeka air matanya.

"Sudah jangan menangis..."

Kata-kata Firenzigo tertahan di bibirnya. Terdiam. Membiarkan Henriette menghapus airmatanya.

"Menangis tak cocok untukmu..."

Ah, kebaikan itu lagi. Semakin menyiksa Firenzigo. Kebaikan yang membuatnya berharap lebih.

"Ceritakanlah, ada apa denganmu..."

Air mata Firenzigo menderas. Bagaimana tidak? Semakin Henriette baik, semakin tersiksa Firenzigo. Membuatnya berharap tinggi walaupun sebenarnya dirinya tahu kalau Firenzigo hanya dianggap teman. Tidak lebih. Dia tahu Henriette akan begitu terus.

Lalu bagaimana? Apa dia harus mengatakannya? Mempermalukan dirinya sendiri lebih dari yang diperlukan? Tapi, dia harus memberi alasan agar Henriette menghentikan pertanyaan lainnya.

Firenzigo menunduk. Tangan kirinya menekan dada kirinya. Wajahnya tampak begitu tersiksa. Lalu dia menjawab pertanyaan Henriette tadi.

"Hatiku sakit...." ucapnya di sela tangis, "waktu...hiks...Henriette bilang aku cuma teman...hatiku sakit..."

Lalu Firenzigo menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan ia terduduk di atas lantai. Berhadapan dengan Henriette. Kakinya tak mampu lagi menopang dirinya untuk menghadapi permintaan maaf yang mungkin akan dikeluarkan Henriette.

Hancur sudah dunianya.

Tebata-bata, Firenzigo berkata-kata lagi tanpa mengangkat kepala dari kedua tangannya.

"Su-sudah kan? Sudah ku-kujawab...Hen-Henriete pe-pergi sa-saja..."

Dia ingin menangis sendirian. Dia ingin ditinggalkan dalam kesedihannya.

Silvana masih asik nguping aja dari luar.

"Aku? Kenapa denganku? Aku tidak apa-apa."

"Sudah jangan menangis..." Ucap Henriette

'K-kak Figo... menangis...' batin Silvana.
Jarang sekali seorang Figo menangis bahkan tak pernah.

"Menangis tak cocok untukmu..." Henriette tersenyum, berusaha menghibur. "Ceritakanlah, ada apa denganmu..."

"Hatiku sakit...." ucapnya di sela tangis, "waktu...hiks...Henriette bilang aku cuma teman...hatiku sakit..."
"Su-sudah kan? Sudah ku-kujawab...Hen-Henriete pe-pergi sa-saja..."

Silvana kaget mendengarnya. Kak Figo patah hati? sama kak Norge? Apa yang membuatnya demikian?
Gadis itu mencoba mengingat semua kejadian tadi. Lalu ia mengingat apa yang kak Norge bilang ke kak Figo "Ngomong apa sih sudah pasti kan."

'Jangan-jangan hanya karena kak Norge bilang seperti itu kak Figo jadi nangis?! Rupanya kak Figo tak sabaran ya...' batin Silvana lagi.

"Hatiku sakit...." ucap Firenzigo di sela tangis, "waktu...hiks...Henriette bilang aku cuma teman...hatiku sakit..."

Firenzigo duduk dilantai menagis, ia menutup mukanya dengan kedua tangannya. "Su-sudah kan? Sudah ku-kujawab...Hen-Henriete pe-pergi sa-saja..." Firenzigo menatap Henriette, masih jelas air matanya mengalir.

Henriette memandang aneh, ia pun menariik lengan kiri Firenzigo, mengajaknya untuk berdiri.

"Jangan bodoh," Henriette membenarkan pakaian Firenzigo, "Jawaban seperti apa itu, tidak dapat diterima" Ucap Henriette, iya tersenyum khawatir.

"Jawab yang jelas baru aku pergi"

"Jangan bodoh," Henriette membenarkan pakaian Firenzigo, "Jawaban seperti apa itu, tidak dapat diterima" Ucap Henriette, iya tersenyum khawatir.
"Jawab yang jelas baru aku pergi"

'Kok makin lama makin mirip drama sih? Terus aku jadi mau nangis... Apa menangis itu bisa menular?' batin Silvana yang asik nguping.
'Yang jelas aku sudah tau kalau bukan aku yang membuat kak Figo menangis,yang salah kak Hen...' batin gadis itu.

Henriette menarik lengan kiri Firenzigo untuk membantunya berdiri. Dia juga membantu Firenzigo membenarkan pakaiannya.

"Jangan bodoh. Jawaban seperti apa itu, tidak dapat diterima."

"Ta-tapi...hiks...itu benar..."

"Jawab yang jelas baru aku pergi."

Meski masih menangis, Firenzigo menatap Henriette. Dia bisa melihat kalau Henriette khawatir. Pertama kalinya Firenzigo merasa tidak suka diperlakukan dengan baik seperti ini. Karena ini menyakitkan.

"Aku..."

Sedikit bimbang, Firenzigo tak tahu harus mengatakannya atau tidak. Tapi, dia juga tak mau terbuai dengan kebaikan menyakitkan yang diberikan Henriette tanpa sadar.

"Aku tidak mau hanya dianggap sebagai teman," Firenzigo telah membulatkan tekad. "Aku mau lebih dari teman."

Dia memang tak mengatakannya secara langsung, tapi jelas apa maksudnya. Dan jika Henriette masih bertanya untuk meminta alasan yang lebih jelas lagi, maka Firenzigo memutuskan untuk diam.

Mengatakan ini saja sudah sangat berat baginya. Hanya untuk mendapat penolakan dari Henriette. Dia merasa tidak perlu mengatakannya lebih jelas.

Ini sudah cukup.